Ketika Cinta Berlabuh Di Pesantren | Copy Manja


Cerpen Karangan: 
Kategori: Cerpen Cinta Islami
Lolos moderasi pada: 9 September 2017


Sekian minggu tepatnya sudah 5 bulan aku mencari ilmu di pesantren di kota seberang. Bagiku mengaji adalah pengalaman terunik dan terindah. Sebenarnya dulu aku tidak ingin mondok namun, ibu memintaku untuk menuruti keinginan terakhirnya sebelum dia meninggalkanku dalam waktu satu tahun ini, sedih itu pasti tetapi ayah selalu mengajarkan ku untuk menjadi perempuan kuat dan tangguh terutama dalam ujian hidup.
Ketika di bangu SMU aku bercita-cita ingin meneruskan ke perguruan tinggi negeri di Semarang. Itu hanyalah mimpi yang mungkin tak terwujud, kulanjutkan memasuki gerbang ponpes yang kini menjadi tujuanku untuk ibu agar tersenyum di surga.
“Hay! Melamun saja, ayok temani aku ke ndalem mengembalikan payung. Takutnya nanti ada yang mau membutuhkan.” Ucap hindun panjang lebar padaku. “Baiklah ayok.” Kataku seraya mengikuti hindun dari belakang. Dia adalah teman satu kamarku, dia juga sahabatku dan sudah kuanggap sebagai kakakku karena selisih usia kami yang terpaut 2 tahun saja. Di sini kami semua adalah keluarga dan saudara. Apapun yang kami punya mereka juga berhak.
Jarak asrama putri dengan ndalem tidak jauh hanya 10 menit jika jalan kaki. Sebelum sampai ndalem kami di jalan berpapasan dengan kang-kang pondok yang ingin ke masjid “Assalamu’alaikum ya ukhti” Ucap salam dari salah satu di antara mereka “Waalaikumsalam ya akhi.” Jawabku dan hindun berbarengan. Itu sudah tradisi di pondok kami jika berpapasan setidaknya mengucapkan salam dan menundukkan pandangan dari yang bukan mahromnya. Saat kami tiba hindun masuk ke ndalem dan mengembalikan payung yang dia pinjam. Aku hanya menunggu di luar. “Sudah?” Tanyaku. “Ya. Ayok kita pulang.” Aku mengangguk.
‘Assalamualaikum zahira’
Ini siapa? Batinku, nomor tidak dikenal mengirim sms padaku. ‘Waalaikumsalam, maaf ini siapa?’
Tidak ada 5 menit dia membalasnya. ‘Saya Imam bolehkah kita saling mengenal?’
‘Boleh’
‘Terima kasih Zahira’
Dan mulai dari percakapan singkat itulah aku mengenal sosok Imam. Seorang Gus yang terkenal akhlak budi pekertinya, rupanya dia mendapat nomorku dari hindun sahabatku. Awalnya aku tidak percaya karena dia memberikan nomorku pada orang lain tanpa meminta izinku lebih dulu. Namun, dengan seiring waktu aku bisa menerima. Entah kenapa aku merasa rindu apabila tidak berkirim pesan dengannya. Astsghfirullah hall’adzim, ya Allah ampunilah hambamu ini.
“Ciee Zahira.. lagi mikirin Imam ya!? Ayoo ngaku?” Ledek mba jannah teman sekamarku “haha nggak kok mba, mending juga hafalin setoran” elakku. “Helleh! Lihat saja wajahmu udah kaya kepiting rebus gitu. Hihihi, kamu bisa boongin mba tapi nggak dengan hati kamu sendiri” jelas mba janna. “Iya udahlah terserah mba aja.” Kataku mengalah daripada berdebat.
Hari liburan pondok sudah tiba, kini saatnya aku bisa berlibur ke kampung halaman. Rindu dengan ayah rupanya telah menggunung, bagaimana tidak enam bulan lebih aku tak bertemu ayah dan ini saatnya aku bisa berjumpa kembali. Aku naik ojek dari pondok ke stasiun karena jaraknya yang lumayan jauh, aku membeli tiket kelas ekonomi yang lebih murah. 1 jam aku menunggu kereta dan akhirnya datang juga meluncur menuju stasiun tujuan.
Lebih kurang dua jam aku berada di kereta alhamdulillah sekarang aku sudah sampai di tempat kelahiranku, Jogja. Kemudian aku melihat seseorang yang melambaikan tangannya ke arahku siapa lagi kalau bukan ayah. Senangnya diri ini sebab rasa rindu itu menguap dengan cepat entah kemana, “Assalamu’alaikum ayah. Gimana kabar ayah?” Ucapku sambil menciumi tangan ayah. “Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik ra. Kamu sendiri bagaimana? Betah di pondok?.” “Alhamdulillah ayah Zahira baik. Tentu dong betah, gimana nggak kan banyak nambah pengalaman.” Kataku dengan senyuman. “Hahaha syukurlah nak. Mari kita pulang.” Ajak ayah dengan menggemnggam tangan kananku. Aku pun mengangguk mengiyakan.
Sampai di rumah, masih sama arsitektur bangunan masa kini hanya saja catnya berganti abu abu dipadu dengan putih serasi sekali. Ruangannya pun masih sama, tidak ada yang berubah kecuali cat tembok tadi. Aku lantas menuju kamarku di lantai atas, yah inilah kamarku yang penuh dengan history. Merebahkan tubuh ini, lelahnya (batinku). Dering ponselku berdering. Imam, tidak biasanya dia meneleponku. Kura-kira ada hal penting apa ya?.
“Hallo! Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam Zahira, maaf ganggu sebentar.”
“Iya nggak papa. Ada hal penting apa ya kok tumben kamu telfon aku?” Tanyaku penasaran.
“Iya gini minggu depan hari ahad kamu dan keluargamu ada acara nggak?” Jelasnya.
“Insya Allah nggak. Kenapa?” Tanyaku sekali lagi karena masih tak mengerti.
“Saya keluarga dan saudara-saudara saya akan datang ke rumah kamu.” Terangnya panjang.
“Owh. Insya Allah sih bisa, ada keperluan apa kok datangnya rombongan?”
“Saya ingin melamarmu menjadi istri saya. Maukh kamu menjadi teman hidup saya dan ibu bagi anak anak saya kelak?”
DEGH!!!
Jantung ini berdetak tak beraturan. Apakah aku mimpi? Tidak! Ini bukan mimpi tapi ini nyata!.
“Apa yang membuat kamu yakin kalau saya pantas jadi istri kamu?”
“Cinta!. Fitrah itulah yang datang tanpa permisi. Sebenarnya rasa itu datang ketika pertama kali saya melihatmu bersama hindun menuju ndalem kala itu. Dari sanalah cinta ini tumbuh tak dapat saya kendalikan hingga saya nekat melamar perempuan yang saya cintai untuk saya nikahi yaitu kamu. Bagaimana bersediakah kamu menjadi istri saya?.”
“Baik saya bersedia menjadi istri dan ibu untuk anak-anakmu.” Jawabku dengan derai air mata keharuan.
“Alhamdulillah terima kasih Zahira, atas kesediaannya. Saya berjanji akan menjadi suami dan kepala rumah tangga yang baik.”
“Aamiin ya Allah.”
“Saya hanya ingin menyampaikan itu. Maaf mengganggu waktu istirahat kamu. Sungguh Zahira saya merasa bahagia dengan ini. Kalau begitu sampai jumpa minggu besok.”
“Saya juga bahagia untuk ini. Sampai jumpa minggu besok.”
“Assalamu’alaikum”
“Waalaikumsalam”
Aku turun mencari ayah dan menceritakan semuanya. Ayah setuju terlebih karena dia terkenal dengan sebutan gus dan dipercaya sebagai tangan kanan romo kyai. Ayah juga bahagia dan memelukku. Aku tenggelam dalam dekapan hangat sang ayah.
Selesai
Cerpen Karangan: Ruri Choeru Rizki
Facebook: Ruri Reilvy Kato, Dania Pricons
Duduk di bangku kelas 9 SMP. Penyuka cokelat dan nasi goreng. Maaf jika ada banyak kesalahan dalam cerpen saya. Karena masih dalam tahap belajar 🙂
Cerpen Ketika Cinta Berlabuh Di Pesantren merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »